AL-ISLAM KELAS 6

AL-ISLAM Kelas 6

AL-QUR'AN


Surah Al-Infitar (bahasa Arab:الانفطار) adalah surah ke-82 dalam al Qur'an. Surah ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surah Makkiyah dan diturunkan setelah surah An-Nazi'atAl Infithaar yang dijadikan nama untuk surat ini adalah kata asal dari kata Infatharat (terbelah) yang terdapat pada ayat pertama.




Dengan nama Allah, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang.

  1. Ketika langit terbelah,
  2. dan ketika berbagai bintang disebarkan,
  3. dan ketika samudera meluap,
  4. dan ketika berbagai kuburan dibongkar,
  5. maka tiap-tiap diri akan memahami hal-hal yang telah ia lalui, maupun hal-hal yang telah ia lalaikan.
  6. Wahai manusia, apakah yang telah memikat dirimu daripada Tuhanmu Yang Maha Pengasih,
  7. yang telah menciptakan dirimu lalu merancang dirimu kemudian membentuk dirimu
  8. dalam keadaan yang Dia kehendaki; Dia menyelesaikan keadaan dirimu.
  9. Jangan demikian, sebenarnya kalian mengingkari Hari Penghakiman
  10. padahal sungguh pada diri kalian terdapat golongan yang mengawasi,
  11. golongan mulia yang menulis riwayat,
  12. mereka mengamati hal-hal yang kalian lakukan.
  13. Sungguh golongan berbakti akan tinggal dalam kemakmuran;
  14. sementara golongan durhaka tentu akan tinggal dalam Perapian yang membara,
  15. mereka akan dicampakkan pada Hari Penghakiman,
  16. serta mereka takkan bisa melarikan diri darisana.
  17. Dan tahukah kamu apakah Hari Penghakiman itu?
  18. maka tahukah kamu apakah Hari Penghakiman itu?
  19. sebuah Hari ketika seseorang tidak berdaya sedikitpun terhadap seorang lain; sementara Kehendak pada Hari itu berada pada Allah

KANDUNGAN DARI SURAT AL-INFITAR

Surat ini terdiri atas 19 ayat, termasuk golongan surat-surat Makkiyah dan diturunkan sesudah surat An Naazi'aat. Al Infithaar yang dijadikan nama untuk surat ini adalah kata asal dari kata Infatharat (terbelah) yang terdapat pada ayat pertama.

Pokok-pokok isinya:
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada hari kiamat; peringatan kepada manusia agar tidak terpedaya sehingga durhaka kepada Allah; adanya malaikat yang selalu menjaga dan mencatat segala amal perbuatan manusia; pada hari kiamat manusia tak dapat menolong orang lain; hanya kekuasaan Allah-lah yang berlaku pada waktu itu.
Surat Al Infithaar ini menggambarkan kejadian-kejadian pada hari kiamat, dan menerangkan keingkaran manusia kepada karunia Allah dan bahwa segala amal perbuatan mereka itu akan mendapat pembalasan.

Hubungan Surat Ini dengan Surat Al Muthaffifiin
1. Dalam surat Al Infithaar ini Allah menjelaskan adanya malaikat yang menjaga dan mencata amal perbuatan manusia, lalu pada Surat Al Muthaffifiin dijelaskan lagi tentang buku catatan itu.
2. Dalam surat Al Infithaar ini secara singkat diterangkan dua golongan manusia pada hari kiamat yaitu orang-orang yang berbuat kebajikan dan orang-orang yang berbuat kebajikan dan orang-orang yang durhaka. Maka dalam surat Al Muthaffifiin diuraikan lebih luas keadaan dan sifat kedua golongan manusia itu.

بِِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang
Tema dan pola surah ini mirip dengan surah al-Takwir, tetapi maknanya berbeda. Surah ini memperingatkan kita bahwa manifestasi penciptaan akan berakhir dan mendeskripsikan bagaimana kejadian tersebut berlangsung dengan cara yang secara nalar dapat kita pahami. Nalar kita memahami kenyataan bahwa segala sesuatu yang diciptakan berasal dari zat padat yang memuai, kemudian rusak dan selanjutnya terjadi pembaharuan. Setiap pembahan tersebut tidak ada yang menjelma ke dalam bentuk atau pola yang tidak berakhir. 'Akhir' ini senantiasa berada di sepanjang bentangan waktu, dan objek kajian kita adalah pengetahuan mutlak yang tidak bembah dengan berjalannya waktu, yakni pengetahuan yang sah dan benar selamanya.
Surah ini dimulai dengan deskripsi tentang alam semesta dan lelangit, kemudian berlanjut ke tingkat duniawi—kuburan—yang merupakan tujuan akhir dari wujud sadar. Bahkan realitas yang menurut perkiraan kita sebagai wujud akhir pun akan hancur.
إِذَا السَّمَاءُ انفَطَرَتْ
1. Tatkala langit terbelah
Ayat ini berbicara tentang akhir waktu dan awal kehidupan berikutnya. Infatharat berasal dari kata kerja yang artinya 'retak, koyak atau pecah berantakan'. Fithrah, dari akar kata yang sama, berarti 'sifat bawaan lahir, naluri'. Kata fitrah secara inheren mengingatkan pada gagasan tentang 'asal-mula', dan, sebagaimana nampak dari bentuk-bentuk katanya yang sekaitan, menunjukkan bahwa asal-mula sesuatu bersumber dari retakan. Alquran mengatakan bahwa bumi berbentuk telur, dan ketika air muncul maka bumi pun retak sehingga memudahkan terjadinya pertumbuhan sesuatu dari dalam bumi. Berdasarkan apa yang nampak dan secara simbolis, segala sesuatu berasal dari satu sumber awal yang mendadak masuk ke dalam arus penciptaan yang bersaluran banyak.
Lelangit dipersatukan oleh kekuatan-kekuatan berbeda yang menjaga agar bintang-bintang dan planet-planet tetap berada dalam orbitnya yang teratur. Jika sistem tersebut retak, maka tatanan ini akan rusak. Implikasinya di sini adalah bahwa bila sistem eksistensi di alam ini—baik untuk kita maupun untuk makhluk lain, seperti jin—sudah mencapai suatu titik yang merupakan akhir perkembangan, maka sistem tersebut akan mulai runtuh. Setiap sistem yang ada bersifat terbatas kecuali yang hakiki, yakni Allah yang meliputi semua sistem. Ia Tidak Berbatas dan karena alasan inilah maka muncul batas-batas yang penuh makna. Setiap batasan berasal dari Yang Tak Berbatas, dan karena berasal dari Yang Tak Berbatas, maka ia mesti terbatas. Waktu dapat dipahami hanya karena ada ketidakberwaktuan, yang maknanya sudah terkandung dalam diri manusia.
وَإِذَا الْكَوَاكِبُ انتَثَرَتْ

ari sudut pandang si penabur, si pelaku, maka penaburan ini mengikuti pola tertentu, yakni pola yang ditentukan oleh beberapa faktor seperti ukuran tangan dan gerakan serta iramanya yang normal, meskipun dari sudut pandang pengamat atau peneliti penaburan tersebut nampak serampangan. Tindakan menebar itu sendiri adalah menaburkan, namun ia mengikuti pola tertentu yang sudah ditetapkan.
وَإِذَا الْبِحَارُ فُجِّرَتْ
3. Dan tatkala lautan naik meluap-luap.
Bila kekuatan atau sistem yang menjaga keutuhan alam semesta lenyap, maka terjadilah ledakan. Fujjirat berasal dari fajjara, yang berarti 'menyebabkan mengalir, membelah, meledak'. Sistem yang ada akan meluap melampaui batas asalnya dan hancur dengan cepat.
Kata kerja fajara mempakan sumber kata yang kaya makna, yang makna-maknanya semua bertalian secara logis, sehingga perlu mendapat perhatian lebih jauh. Fajr (subuh) dihubungkan dengan fajara. Malam, yakni kegelapan yang menyelubungi, dirobek oleh sorotan pertama cahaya pagi, karena itu kata tersebut diartikan 'fajar sidik'. Infijar adalah 'ledakan, letusan, atau letupan'. Dalam Al-quran, fujur (kejahatan, imoralitas, kejangakan) biasanya menunjukkan pelanggaran, tindakan kelewat batas, melampaui batas jalan. Bila seseorang dikatakan sebagai seorang fajir maka artinya orang tersebut merosot akhlaknya dan bermoral bejat tak punya malu.
Salah satu makna fajjara yang paling penting dalam Alquran terdapat dalam ayat berikut: "Sebuah mata air dari mana hamba-hamba Allah minum, mereka memancarkannya dengan berlimpah" (Q.S.76:6). Pengertiannya di sini adalah bahwa mata air itu ada dalam diri kita sendiri. Mata air tersebut, yakni tempat fitrah (sifat yang orisinil), berada di dalam hati manusia, tapi ia harus diletuskan dan dipancarkan. Untuk itu kita harus dapat mencapai mata air itu. Untuk membuka deposit box di sebuah bank saja kita harus berjalan melalui beberapa lorong guna mencapainya. Demikian juga hati: untuk mencapainya, kita harus berjalan melewati semua mangruang menakutkan yang telah kita buat dan kita bangun dalam perjalanan hidup ini.
Hasan al-Bashri, salah seorang murid Ali ibn Abi Thalib, mengatakan bahwa maksud dari ayat ini berkenaan dengan 'air yang mengering' karena air tersebut mengalir kembali ke sumber asalnya. Planet-planet yang menahan kita dalam orbit, yang berhubung dengan kita dan paling berpengaruh terhadap kehidupan kita, akan bertebaran. Demikian pula, lautan akan kosong, yang padat akan kembali mencair, dan uap akan kembali hampa. Kita akan melihat segala sesuatu terbalik dan kita pasti akan mengalaminya.
وَإِذَا الْقُبُورُ بُعْثِرَتْ

4. Dan tatkala kuburan-kuburan dibuka.
Kini keruntuhan dunia semakin dekat. Tempat istirahat terakhir adalah kuburan, yang mempakan tempat kedamaian. Ba'tsara, akar dari bu'tsirat, berarti 'tersebar di sana-sini, terbalik, menjebloskan ke dalam kekacauan'. Ayat ini menggambarkan akibat lain dari terjadinya gangguan, antara lain, dalam daya gravitasi dan sentrifugal yang mempersatukan dunia. Pemakaman akan menyembul dan kuburan-kuburan akan terbuka. Apa pun yang disembunyikan dan dirahasiakan oleh setiap jiwa akan tersingkap melalui pembukaan ini.
عَلِمَتْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ وَأَخَّرَتْ
5. Setiap jiwa akan mengetahui apa yang ditempatkan di depan dan apa yang dibiarkan di belakang.
Nafs di sini berarti 'roh', atau 'jiwa'. Akar katanya dihubungkan dengan tanaffasa, yang merupakan kata kerja 'bernafas'. Nafs adalah entitas kompleks yang meliputi sebab sejati eksistensinya, yakni roh. Kata ruh dalam bahasa Arab berkaitan dengan 'angin', karena sifatnya yang bebas mengalir. Nafs juga memiliki semua ciri buatan yang dicangkokkan kepada roh sebagai akibat dari perwujudannya. Kata nafs dan ruh kadang dapat dipertukarkan. Hu-bungan mereka bagaikan matahari kepada bumi: diri disadarkan oleh roh.
Bila semua tiang lahiriah telah roboh, seperti pada Hari Kebangkitan, setiap diri akan menjalani realitasnya, dan realitas ini dibentuk oleh amal-amalnya dan oleh apa yang telah dipeliharanya sebelum dunia wujud lahiriah runtuh.
Qaddamat, di sini diterjemahkan sebagai '[ia] menempatkan di depan', kata kerja yang akarnya adalah qadam, artinya 'kaki', yakni, apa yang kita letakkan di hadapan kita untuk bergerak ke depan menuju sesuatu yang baru. Kita hanya mengupayakan apa yang sesuai dengan tujuan kita. Kalau tujuan kita adalah menyampaikan dan memperoleh pengetahuan tentang realitas, maka semua kekuatan di sekitar kita akan membantu.
Ayat ini mengatakan bahwa bila semua peristiwa tersebut tadi terjadi, maka niat seseorang akan terlihat jelas oleh dirinya sendiri, meskipun sebelumnya mungkin ia nyaris tidak memikirkan alasan untuk melakukan sesuatu perbuatan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan bahwa lebih baik sama sekali tidak berbuat sebelum niat kita jelas, karena perbuatan hanya sesuai dengan niat yang mendahuluinya, dan kehidupan kita akan diuji. Jika kita memulai dengan hal nyata, maka kita akan membuat kemajuan. Umpamanya, menafkahi keluarga adalah suatu perbuatan yang patut dipuji. Karena bertindak dengan niat yang baik maka seseorang akan mencapai suatu titik di mana ia mulai haus akan pengetahuan, dan hal ini membawa dia kepada pengingatan akan Allah (zikir), yang pada gilirannya menggiring kepada kesunyian batin. Jika kita berbuat dengan ketulusan hati, rnaka keadaan zikir akan dicapai bagaimana pun juga, karena, seperti dikata-kan dalam Alquran, "Sesungguhnya la Maha Pengampun lagi Maha Penyayang!'
Akhkhara artinya 'menunda, menangguhkan, menghalangi, mengembalikan', secara tidak langsung menunjuk kepada apa yang telah disembunyikan. Kita adalah hasil dari apa yang telah kita tinggalkan, masa lalu kita. Sebagai individu, sebagai manusia, kita adalah jumlah dari perbuatan dan pemikiran masa lalu kita, yang disembunyikan, ditangguhkan, atau yang diungkapkan. Yang berpotensi terjadi di masa mendatang adalah tujuan kita dan yang sebenarnya akan terjadi adalah perwujudan tujuan itu. Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lain dan juga dengan lingkungan luar, dan hasil dari interaksi-interaksi ini adalah masa akan datang. Jika manusia mengetahui apa yang ada di belakang dan di depan dirinya, maka ia sudah menguasai seluruh cakrawala dan berhubungan dengan cakrawala tersebut.

Makna ayat ini adalah bahwa pada hari itu setiap nafs akan benar-benar menampakkan diri, warna, nada, dan iramanya. Roh berawal sebagai kekuatan sejati, dan substansinya terbuat dari suatu unsur yang dengan itu setiap roh lain dapat berhubungan. Oleh karena itu setiap roh akan melihat roh lainnya dengan jelas, tidak seperti sekarang di mana kita dapat menyembunyikan bagian-bagian dari diri kita yang tidak ingin diketahui orang lain. Oleh karena itu, semakin terbuka kita di sini dan saat ini, dan semakin siap kita hidup di sini dan saat ini, maka kita pun semakin siap untuk menghadapi yang akan terjadi kelak. Kita harus memperhatikan cara hidup kita, sepenuhnya dan secara total. Jika seseorang sungguh-sungguh ingin menerapkan hal ini, ia akan mencapai kesimpulan bahwa cara mewujudkannya adalah dengan membersihkan setiap niat dan merangkaikannya dengan perbuatan yang benar dan dengan sungguh-sungguh bersikap terbuka, tidak menutup-nutupi, dan siap ditanya.
يَا أَيُّهَا الْإِنسَانُ مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ
6. Wahai manusia! Apakah yang telah memperdayakan engkau dari Tuhanmu Yang Maha Pemurah?
Setelah mengungkapkan bahwa dunia ini bersifat terbatas dan begitu kompleks serta fantantis, dan bahwa yang akan tertinggal dari masing-masing orang adalah jiwa, surah ini kemudian memusatkan perhatiannya langsung pada manusia. Insan (manusia) pada dasarnya memiliki sifat suka bergaul, peramah dan bersahabat. Makna yang lebih dalam dari ayat ini adalah: 'Wahai engkau yang sudah menjadi penyembah ketauhidan, dengan nama apa pun engkau menyebutnya, apa yang menyebabkan engkau sombong sehingga mengira bahwa engkau terpisah dari Tuhanmu Yang Senantiasa Pemurah?' Ketika kulit luar dunia hancur, apa alasan perbuatan manusia melepaskan diri dari Realitas Tunggal? Esensi manusia itu murah hati dan menyenangkan, lantas apa yang menyebabkannya begitu congkak?
Yang menjadi perhatian di sini adalah sifat manusia yang sesungguhnya, yakni yang akan tetap bertahan pada saat semua hiasan duniawi berangsur sima. Apa yang memalingkan dia sehingga tidak mengenal Rububiyyah (Ketuhanan)? Jawabannya adalah kecintaannya terhadap dunia ini, kesukaannya berada dalam kebingungan. Namun jawaban yang benar adalah 'tidak ada alasan'. Ketika terjadi pertentangan dengan Tuhan, mengapa manusia tidak melaksanakan apa yang menjadi tujuannya dilahirkan, yakni mencari kebenaran? Untuk ini pun tidak ada jawaban yang sahih.
Selain Allah, semuanya adalah palsu dan kita tidak bisa ditipu oleh 'ketiadaapa-apaan', oleh suatu keniskalaan. Apa pun yang memalingkan manusia dari garis kebenaran maka itulah dunia, yang bersifat sementara dan menyebabkan kita berada dalam ghaflah (kelalaian, ketakperdulian). Kita menjadi terpancang pada dunia ini karena berbagai ilusi yang dibebankan pada diri kita sendiri, walaupun kita sebenarnya mencari keamanan.

Sebenarnya, Yang Senantiasa Memberi Keamanan itu sudah ada di dalam hati dan berpengaruh terhadap situasi lahiriah, dan dalam situasi tersebut kita mendapati ternyata kita mengikuti hal-hal yang bersifat sementara. Kita harus berupaya untuk merasakan keamanan tersebut, dan begitu unsur yang menyebabkan kecintaan kita itu tidak lagi berkuasa, maka kita pun bebas dari kelalaian dan dapat mengenal Tuhan kita.
Perekat cinta yang paling hebat adalah tampilnya 'Aku', sang ego. Saat penciptaan berlangsung, unsur setaniah berkata, "Aku lebih baik daripada dia" (Q.S.7:12), dan dengan masuknya unsur ini maka mulailah kecintaan terhadap sesuatu yang asalnya tidak ada. Ketika dunia yang nampak ini tiba pada saat akhimya, maka segala sesuatu yang menjadi sandaran pun akan lenyap. Setan tidak akan muncul di alam kesatuan absolut, karena mustahil kekuatan yang menyebabkan keterpisahan itu akan berfungsi di sana.
الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ
7. Yang menciptakan engkau, lalu menyempumakan engkau, lalu membuat engkau seimbang (proporsional).
Seandainya manusia tidak diciptakan maka ia tidak akan memiliki kesempatan untuk memperoleh pengetahuan, juga tidak akan mendapatkan kebahagiaan dan kepuasan eksistensi batin, juga tidak akan melihat ratusan bunga yang nampak sama namun berbeda dalam warna dan bau.
Sawwa memiliki banyak makna, termasuk 'meratakan, mendatarkan, meluruskan, mengatur, merapikan, menyamakan'. Lantas, mengapa manusia berlaku sombong padahal ia melihat betapa dirinya diberi potensi untuk tampil harmonis dan sempurna?
'Adl artinya 'lurus', dan ini merupakan prinsip yang paling efisien (jalan tercepat untuk menghubungkan dua titik, bagaimana pun, adalah garis lurus). Ia juga berarti 'keadilan, kewajaran dan ketulusan'. Segala sesuatu secara menakjubkan diciptakan dengan seimbang, wajar dan ekologis, baik di alam lahir maupun batin—dua alam ini sebenarnya adalah satu, dan, karenanya, seimbang. Kita memahami Pencipta kita melalui penelitian dan perenungan terhadap ciptaan-Nya.
فِي أَيِّ صُورَةٍ مَّا شَاءَ رَكَّبَكَ
8. Dalam bentuk apa pun Ia kehendaki, Ia membentuk kamu.
Shurah adalah 'gambaran, bentuk, rupa, kesamaan atau tiruan, dari kata kerja shawwara, 'membentuk, menciptakan, menggambarkan, membuat'. Rakkaba adalah 'mengikatkan, membangun, menyatukan'. Akar katanya adalah rakiba (menaiki). Bila kita melihat penciptaan secara keseluruhan, maka kita akan mengetahui bahwa temyata apa pun dapat terjadi, dan memang terjadi. Adalah di luar pemahaman intelektual kita untuk mengerti mengapa suatu sel atau makhluk tertentu bergerak dengan cara tertentu, dan kemudian kita menyebutnya sebagai gerakan yang abstrak atau serampangan. Sebenarnya tidak ada yang serampangan dalam gerakan tersebut, tapi yang terjadi adalah bahwa kita tidak dapat memahami gerakan tersebut. Sebenarnya, pola pencarian intelektual kita bisa melalui proses pemahaman atau, kalau tidak, melalui kebingungan. Dari segi realitas batin (hakikat) segala sesuatu sangat masuk akal dan tidak ada yang nampak janggal, tapi jika kita melanggar norma-norma akal dan pikiran, maka kita memasuki alam kebingungan.

كَلَّا بَلْ تُكَذِّبُونَ بِالدِّينِ
9. Sekali-kali tidak Engkau menolak Hari Pengadilan.
Kalla (sekali-kali tidak) maksudnya menegaskan kembali. Dengan kata lain maksud ayat ini adalah 'Memang demikianlah halnya'. Penolakan bagi manusia sangatlah wajar: "Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi” (Q.S.103:2); dan, sangat bisa dimaklumi kalau kita melanggar, lupa dan tidak ingat. Itulah sebabnya mengapa Allah Maha Pengampun, Maharahman, dan mengapa kita bertobat kepada Allah. Hal ini Normal. Dalam konteks ayat ini, yang sedang kita ingkari adalah transaksi yang benar dan perilaku yang benar, yakni satu-satunya jalan untuk hidup, untuk bersiap-siap, untuk berada dalam keadaan bebas dari hawa nafsu di mana kita dapat menyadari dan mengalami keberlimpahan.
Ayat ini berbicara kepada kita pada tataran batin yang dalam. Din, dalam konteks lain, biasanya diterjemahkan sebagai 'agama'. Namun kata tersebut menunjukkan suatu transaksi, yakni transaksi untuk membayar utang-utang kita kepada sang Pencipta. Akar kata din adalah dâna, yakni 'berhutang, menjadi sasaran, menyerah'. Sifat dasar manusia memang mengingkari Islam. Persis bagaikan ikan salmon yang berusaha berenang ke hulu dan hanya sedikit sekali yang mencapai sumbemya. Ayat ini ditujukan untuk orang-orang Mekah kepada siapa ayat ini khususnya diturunkan, dan juga untuk semua orang di sepanjang masa. Sifat sejati manusia adalah ingin mencari sumbernya, sementara sifat rendahnya adalah menolak perjanjian yang mengaridung kerahmanan dan hanya dapat diketahui melalui pembayaran utang—dengan menghidupkan din— yang memang utangnya. Kemudian jalan kecil menuju Kerahmanan yang meliputi semua makhluk dilicinkan, ta'abbada (diratakan, dibuka, dilicinkan), melalui nyanyian ibadah.
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ
10. Dan sesungguhnya ada penjaga untuk kamu.
Kekuatan dan energi yang luhur, malaikat atau lainnya, menggiring kita ke arah pola dan takdir penciptaan. Kekuatan ini ditujukan kepada hâfizhin (penjaga, pelindung) karena tugas mereka adalah merefleksikan salah satu sifat Allah, al-Hafizh. Nama 'Pelindung, Penjaga, Pemelihara' menunjuk kepada Allah, satu-satunya Pelindung yang sejati.

Bagaimana mengejawantahkan al-Hafizh? Nama ini berasal dari akar kata kerja yang berarti 'memelihara, melindungi, menjaga, menopang, mengingat'. Hafizh, dalam bahasa Arab sehari-hari, berarti seseorang yang hafal Al-quran. Sang Pencipta tidak akan menciptakan hukum kehidupan kalau Dia tidak akan mempertahankannya. Dengan demikian kita yakin bahwa hukum itu tidak berubah dan tidak akan berubah bagi siapa pun, baik ia seorang nabi, rasul, atau orang biasa. Hukum penciptaan berlaku sama kepada semua. Banyak di antara hukum-hukum ini yang kita anggap pasti benar karena kita tunduk padanya sepanjang waktu, seperti hukum gravitasi. Setiap diri ingin sekali mempertahankan, memelihara dan melanjutkan hidup. Ini adalah manifestasi kekuatan hâfizhin melalui diri.
كِرَامًا كَاتِبِينَ

TUGAS KELAS 6 
1. Tuliskan surat al-infithar di buku tulis mu dan artinya 
2. Jelaskan isi kandungan dari surat al-infithar (5) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KELAS 2 TEMA 6 MERAWAT HEWAN DAN TUMBUHAN SUBTEMA 3 TUMBUHAN DI SEKITARKU PEMBELAJARAN 1

KELAS 2 BASA JAWA SEMESTER 2 WULANGAN 1 URIP RESIK LAN SEHAT

KELAS 6 PPKn TEMA 7 KEPEMIMPINAN SUBTEMA 3 AYO MEMIMPIN PEMBELAJARAN 6